Pengertian Bunuh diri, Sejarah, Filosofi, Penyebab, Tipe, dan Pencegahannya

Pengertian Bunuh diri
Bunuh diri

A. Pengertian Bunuh diri
Bunuh diri dalam bahasa Inggris: suicide, berasal dari kata Latin suicidium, dari sui caedere, "membunuh diri sendiri" adalah sebuah tindakan sengaja yang menyebabkan kematian diri sendiri. Bunuh diri sering kali dilakukan akibat putus asa, yang penyebabnya sering kali dikaitkan dengan gangguan jiwa misalnya depresi, gangguan bipolar, skizofrenia, ketergantungan alkohol/alkoholisme, atau penyalahgunaan obat.

Bunuh diri, yang juga disebut sebagai bunuh diri berhasil, adalah "tindakan mengambil nyawa diri sendiri". Percobaan bunuh diri atau perilaku bunuh diri yang tidak fatal adalah perbuatan melukai diri sendiri dengan maksud untuk mengakhiri nyawa seseorang namun tidak berakhir dengan kematian. Bunuh diri dengan bantuan adalah ketika seseorang membantu orang lain mengakhiri nyawanya secara tidak langsung melalui pemberian saran atau sarana sampai kematian terjadi.

Terdapat bermacam-macam metode yang paling sering digunakan untuk bunuh diri di berbagai negara dan sebagian terkait dengan keberadaan metode tersebut. Metode yang umum antara lain: gantung diri, racun serangga, dan senjata api. Sekitar 800.000 hingga satu juta orang meninggal karena bunuh diri setiap tahun, sehingga bunuh diri menduduki posisi ke-10 sebagai penyebab kematian terbesar di dunia.

Angka bunuh diri tercatat lebih banyak dilakukan oleh pria ketimbang wanita, dengan kemungkinan tiga sampai empat kali lebih besar seorang pria melakukan bunuh diri dibandingkan wanita. Tercatat ada sekitar 10 hingga 20  juta kasus percobaan bunuh diri yang gagal setiap tahun. Percobaan bunuh diri semacam ini lebih sering dilakukan remaja dan wanita.

Cara pandang terhadap bunuh diri selama ini dipengaruhi oleh konsep eksistensi yang luas seperti agama, kehormatan, dan makna hidup. Agama Abrahamik secara tradisional menganggap bunuh diri sebagai perbuatan dosa karena kepercayaan bahwa kehidupan itu suci. Selama era samurai di Jepang, seppuku dijunjung tinggi sebagai sarana pertobatan akibat kegagalan atau sebagai bentuk protes.

Sati, sebuah praktik pemakaman dalam agama Hindu yang mengharuskan janda untuk melakukan pengorbanan diri di atas api pembakaran jenazah suaminya, baik atas keinginan sendiri maupun didesak oleh keluarga dan masyarakat.

B. Sejarah Bunuh Diri
Dalam sejarah Athena kuno, orang yang melakukan bunuh diri tanpa persetujuan negara ditolak untuk dimakamkan secara wajar dengan penghormatan. Orang tersebut akan dimakamkan sendirian, di pinggiran kota, tanpa nisan atau tanda. Dalam sejarah Yunani Kuno dan Roma bunuh diri itu dianggap metode yang dapat diterima saat mengalami kalah perang. Di Roma kuno, bunuh diri pada awalnya diizinkan, tetapi kemudian hal tersebut dianggap sebagai kejahatan terhadap negara karena menimbulkan biaya.

Peraturan pidana yang dikeluarkan oleh Raja Louis XIV dari Prancis pada tahun 1670 jauh lebih berat hukumannya: tubuh orang yang meninggal diseret melintasi jalan-jalan, dalam kondisi tertelungkup, dan kemudian digantung atau dibuang di tumpukan sampah. Selain itu, semua harta orang tersebut disita. Dalam sejarah gereja Kristen, orang yang mencoba bunuh diri dikucilkan dan mereka yang meninggal karena bunuh diri dimakamkan di luar kuburan suci.

Pada akhir abad ke-19 di Inggris, mencoba bunuh diri itu dianggap sama dengan percobaan pembunuhan dan bisa dihukum gantung. Di Eropa pada abad ke-19, tindakan bunuh diri mengalami pergeseran pandangan dari sebelumnya sebagai tindakan akibat dosa menjadi akibat gila.
 
C. Filosofi Bunuh Diri
Sejumlah pertanyaan diajukan dalam filosofi bunuh diri, termasuk apa yang termasuk dalam kategori bunuh diri, apakah bunuh diri bisa menjadi pilihan yang rasional atau tidak, dan kebolehan secara moral untuk bunuh diri. Argumen filosofis terkait apakah bunuh diri bisa diterima secara moral atau tidak berkisar dari oposisi yang kuat, (melihat bunuh diri sebagai tindakan tidak etis dan tidak bermoral), hingga persepsi bahwa bunuh diri sebagai hak sakral bagi siapa saja (bahkan bagi orang yang masih muda dan sehat) yang merasa yakin bahwa mereka secara rasional dan sadar dapat mengambil keputusan untuk mengakhiri hidup mereka sendiri.

Para penentang bunuh diri termasuk para filsuf Kristen seperti Augustine of Hippo dan Thomas Aquinas, Immanuel Kant dan, boleh dibilang, John Stuart Mill – Fokus Mill tentang pentingnya kebebasan dan otonomi berarti bahwa ia menolak pilihan yang akan mencegah seseorang membuat keputusan otonom pada masa depan. Orang lain melihat bunuh diri sebagai masalah pilihan pribadi yang sah-sah saja. Para pendukung posisi ini mempertahankan bahwa tidak ada yang harus dipaksa menderita dengan melawan keinginan mereka, terutama dari kondisi seperti penyakit yang tidak tersembuhkan, penyakit mental, dan usia tua yang sudah tidak mungkin lagi mengalami perbaikan.

Mereka menolak keyakinan bahwa bunuh diri itu selalu irasional, dengan alasan bahwa tindakan itu dapat menjadi pilihan terakhir yang berlaku bagi mereka yang mengidap penyakit atau trauma berat yang berkepanjangan. Pendirian yang lebih kuat berpendapat bahwa orang harus diperbolehkan untuk secara mandiri memilih mati terlepas apakah mereka sedang menderita atau tidak. Pendukung terkemuka untuk aliran pemikiran ini di antaranya pakar empiris Skotlandia David Hume dan pakar bioetika Amerika Jacob Appel.

D. Faktor Penyebab
Faktor-faktor yang memengaruhi risiko bunuh diri antara lain gangguan jiwa, penyalahgunaan obat, kondisi psikologis, budaya, kondisi keluarga dan masyarakat, dan genetik. Penyakit jiwa dan penyalahgunaan zat biasanya saling berkaitan. Faktor risiko lain termasuk pernah melakukan percobaan bunuh diri, adanya sarana yang tersedia untuk melakukan tindakan tersebut, peristiwa bunuh diri dalam sejarah keluarga, atau adanya luka trauma otak. Faktor sosial ekonomi seperti pengangguran, kemiskinan, gelandangan, dan diskriminasi dapat mendorong pemikiran untuk melakukan bunuh diri.
1. Gangguan jiwa, gangguan jiwa sering kali terjadi pada seseorang saat melakukan bunuh diri. Orang yang pernah dirawat di rumah sakit jiwa memiliki risiko melakukan tindakan bunuh diri. Sebagian dari orang yang meninggal karena bunuh diri bisa jadi memiliki gangguan depresi mayor. Orang yang mengidap gangguan depresi mayor atau salah satu dari gangguan keadaan jiwa seperti gangguan bipolar memiliki risiko lebih tinggi, hingga mencapai 20 kali lipat, untuk melakukan bunuh diri.
2. Penggunaan obat, baik penyalahgunaan obat kronis maupun kecanduan akut saling berhubungan satu sama lain. Bila digabungkan dengan kesedihan diri, misalnya ditinggalkan seseorang yang meninggal, risiko tersebut semakin meningkat. Selain itu, penyalahgunaan obat berkaitan dengan gangguan kesehatan jiwa.
3. Masalah perjudian, masalah perjudian pada seseorang dikaitkan dengan meningkatnya keinginan bunuh diri dan upaya-upaya melakukan tindak bunuh diri dibandingkan dengan populasi umum. Angka bunuh diri di kalangan istri-istri mereka tiga kali lebih besar daripada populasi umum. Faktor lain yang meningkatkan risiko pada mereka dengan masalah perjudian meliputi penyakit mental, alkohol dan penyalahgunaan narkoba.
4. Kondisi medis, terdapat hubungan antara bunuh diri dan masalah kesehatan fisik, mencakup: sakit kronis, cedera otak traumatis, kanker, mereka yang menjalani hemodialisis, HIV, lupus eritematosus sistemik, dan beberapa lainnya. Diagnosis kanker membuat risiko bunuh diri menjadi kira-kira dua kali lipat. Pada orang yang memiliki lebih dari satu kondisi medis, risiko tersebut sangat tinggi. Di Jepang, masalah kesehatan termasuk dalam daftar utama diperbolehkannya bunuh diri.
5. Keadaan psikososial, sejumlah keadaan psikologis juga meningkatkan risiko bunuh diri, meliputi: keputusasaan, hilangnya kesenangan dalam hidup, depresi dan kecemasan. Kurangnya kemampuan untuk memecahkan masalah, hilangnya kemampuan seseorang yang dahulu dimilikinya, dan kurangnya pengendalian impuls juga berperan. Pada orang dewasa lanjut usia, persepsi tentang menjadi beban bagi orang lain merupakan hal yang penting.  
6. Media, termasuk internet, memainkan peranan penting. Caranya menyajikan gambaran bunuh diri mungkin saja memiliki efek negatif dengan banyaknya tayangan yang mencolok dan berulang yang mengagungkan atau meromantiskan tindakan bunuh diri dan memberikan dampak terbesar. Bila digambarkan secara rinci tentang cara melakukan bunuh diri dengan menggunakan cara tertentu, metode bunuh diri mungkin saja meningkat dalam populasi secara keseluruhan.
7. Rasional, bunuh diri rasional adalah tindakan menghilangkan nyawa sendiri yang beralasan, meskipun sejumlah orang merasa bahwa bunuh diri tidak pernah masuk akal. Tindakan menghilangkan nyawa sendiri demi kepentingan orang lain dikenal sebagai bunuh diri altruistik. Contohnya adalah sesepuh yang mengakhiri hidup mereka agar dapat meninggalkan makanan dalam jumlah yang lebih besar bagi orang yang lebih muda dalam masyarakat. Dalam beberapa budaya Eskimo, hal ini dianggap sebagai tindakan yang terhormat, berani, atau bijaksana.

E. Tipe Bunuh Diri
Berdasarkan asumsinya tentang solidaritas sosial, Durkheim membagi bunuh diri menjadi 4 tipe di antaranya,
1. Egoistic Suicide, bunuh diri akibat individu yang terisolasi dengan masyarakatnya, di mana individu mengalami underinvolvement dan underintegration. Individu menemukan bahwa sumber daya yang dimilikinya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan, dia lebih beresiko melakukan perilaku bunuh diri.
2. Altruistic Suicide, bunuh diri akibat mengalami overinvolvement dan overintegration. Pada situasi demikian, hubungan yang menciptakan kesatuan antara individu dengan masyarakatnya begitu kuat sehingga mengakibatkan bunuh diri yang dilakukan demi kelompok. Identitas personal didapatkan dari identifikasi dengan kesejahteraan kelompok, dan individu menemukan makna hidupnya dari luar dirinya. Pada masyarakat yang sangat terintegrasi, bunuh diri demi kelompok dapat dipandang sebagai suatu tugas.
3. Anomic Suicide, bunuh diri yang didasarkan pada bagaimana masyarakat mengatur anggotanya. Masyarakat membantu individu mengatur hasratnya (misalnya hasrat terhadap materi, aktivitas seksual, dll.). Ketika masyarakat gagal membantu mengatur individu karena perubahan yang radikal, kondisi anomie (tanpa hukum atau norma) akan terbentuk. Individu yang tiba-tiba masuk dalam situasi ini dan mempersepsikannya sebagai kekacauan dan tidak dapat ditolerir cenderung akan melakukan bunuh diri. Misalnya remaja yang tidak mengharapkan akan ditolak oleh kelompok teman sebayanya.
4. Fatalistic Suicide, tipe bunuh diri ini merupakan kebalikan dari anomic suicide, di mana individu mendapat pengaturan yang berlebihan dari masyarakat. Misalnya ketika seseorang dipenjara atau menjadi budak.

Berkaitan dengan metode seseorang melakukan tindakan bunuh diri kemudian memiliki beberapa istilah yang berbeda sesuai dengan alasan seseorang dalam melakukan bunuh diri di antaranya,
1. Euthanasia, yaitu tindakan pencabutan kehidupan manusia dengan melalui cara yang dianggap tidak menimbulkan rasa sakit atau menimbulkan rasa sakit yang minimal.
2. Murder–suicide, yaitu tindakan di mana individu membunuh satu atau lebih orang lain, sebelum atau pada waktu yang bersamaan kemudian membunuh dirinya sendiri.
3. Suicide attack atau serangan bunuh diri, yaitu suatu serangan yang dilakukan oleh penyerangnya dengan maksud untuk membunuh orang (atau orang-orang) lain dan bermaksud untuk turut mati dalam proses serangannya.
4. Mass suicide, yaitu bunuh diri massal, atau usaha untuk mengakhiri hidup secara yang dilakukan secara bersama-sama.
5. Suicide pact, yaitu bunuh diri yang dilakukan oleh dua atau lebih individu dengan telah direncanakan dan telah disepakati sebelumnya. Ini dilakukan di tempat yang berbeda dengan adanya kesepakatan sebelumnya.
6. Defiance or protest, yaitu bunuh diri yang dilakukan sebagai tindakan pembangkangan atau protes politik. Hal ini dilakukan sebagai bentuk protes terhadap pemerintah.
7. Dutiful suicide, yaitu tindakan yang dilakukan karena tindak kekerasan fatal di tangan diri sendiri dilakukan dengan keyakinan bahwa itu akan menimbulkan kebaikan yang lebih besar, daripada melarikan diri kondisi yang keras. Hal ini dilakukan untuk meringankan beberapa aib atau hukuman, atau ancaman kematian atau balas dendam pada keluarga atau reputasi seseorang.
8. Escape, yaitu bunuh diri yang dilakukan untuk meringankan situasi untuk hidup yang tak mampu untuk dijalaninya, beberapa orang menggunakan bunuh diri sebagai sarana untuk melarikan diri dari penderitaan.

F. Pencegahan Bunuh Diri
Pencegahan bunuh diri merupakan istilah yang digunakan untuk upaya kolektif guna mengurangi insiden bunuh diri melalui tindakan pencegahan. Mengurangi akses ke metode tertentu, seperti senjata api atau racun akan mengurangi risikonya. Tindakan lain di antaranya dengan mengurangi akses ke gas karbon dan penghalang di jembatan serta platform kereta bawah tanah. Pengobatan kecanduan narkoba dan alkohol, depresi, dan mereka yang telah mencoba bunuh diri pada masa lalu mungkin juga efektif.

Beberapa di antaranya telah mengusulkan pengurangan akses ke alkohol sebagai strategi pencegahan (seperti mengurangi jumlah bar). Walaupun saluran bantuan krisis bersifat umum, terdapat sedikit bukti yang mendukung atau menolak keefektifannya. Pada remaja yang akhir-akhir ini berpikir untuk bunuh diri, terapi perilaku kognitif tampaknya dapat bermanfaat untuk memberikan perbaikan. Pembangunan ekonomi melalui kemampuannya untuk mengurangi kemiskinan mungkin dapat menurunkan tingkat bunuh diri. Upaya untuk meningkatkan hubungan sosial terutama pada pria usia lanjut mungkin saja efektif.
 

Dari berbagai sumber

Download

Aletheia Rabbani
Aletheia Rabbani “Barang siapa yang tidak mampu menahan lelahnya belajar, maka ia harus mampu menahan perihnya kebodohan” _ Imam As-Syafi’i

Post a Comment for "Pengertian Bunuh diri, Sejarah, Filosofi, Penyebab, Tipe, dan Pencegahannya"